A. Latar
Belakang
Agama
Islam adalah agama yang terakhir dan merupakan agama penyempurna bagi
agama-agama lain yang diturunkan oleh Allah Swt, baik dari segi
ajaran-ajarannya maupun hukumnya, tujuan diciptakan manusia adalah untuk
beribadah dan hal ini sesuai dengan firman Allah Surat Adz-Dzariyat ayat 56 :
وما خلقت
الجنّ والإنس الاّ ليعبدون. (الذريات : 56)
Artinya
:
“Dan Aku tidak menciptakan jin dan
manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku”.
Adapun
yang dimaksud menyembah di sini tidak hanya diartikan melaksanakan ibadah
shalat saja, akan tetapi bisa mempunyai arti yang sangat luas, yakni
melaksanakan perintah-perintah Allah dan Rasul-Nya serta menjauhi segala
larangan-larangan-Nya. Begitu juga di dalam ajaran Islam, adanya suatu anjuran
untuk mengembangbiakkan keturunan yang pelaksanaannya harus sesuai dengan
tatacara yang telah ditetapkan dalam syari’at Islam baik dalam Al-Qur’an maupun
hadits ataupun sumber-sumber hukum yang lain. Tatacara yang dimaksud adalah
melalui perkawinan yang sah, baik sah secara agama ataupun sah menurut
pemerintah sehingga tidak akan terjadi ketimpangan di masa datang setelah terjadi perkawinan.
Bahwa
hakikat dari suatu perkawinan tidak lain adalah institusi yang ditetapkan oleh
syara’ guna menyatukan tabiat manusia yang memiliki syahwat secara sah. Dengan
hal ini adalah perbedaan antara seorang pria dengan seorang wanita sebelum
adanya akad nikah yang berdasarkan syari’at Islam, merupakan suatu hal yang
sangat diharamkan, sehingga akad nikah menjadikan halalnya persebadanan antara
seorang pria dengan seorang wanita.
Sebagaimana
firman Allah Swt Surat Al-Baqarah ayat 187 :
... هنّ لباس لكم وانتم لباس لهنّ ... الاية
(البقراة : 187).
Artinya : “Mereka
adalah pakaian bagimu dan kamu adalah pakaian bagi mereka” (Q.S. Al-Baqarah :
187).
Firman Allah Surat
Ar-Rum ayat 21 :
ومن ايته ان خلق لكم من
انفسكم ازواجا لتسكنوا اليها وجعل بينكم مودّة ورحمة إنّ فى ذلك لا يت لقوم
يتفكّرون (الروم : 21).
Artinya :
“Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya adalah Dia menciptakan istri-istri dari
jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tentram padanya, dan
dijadikannya diantara kamu rasa kasih sayang. Sesungguhnya pada yang demikian
terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir”. (Ar-Rum : 21).
Dalam
sejarah peradaban manusia adanya lembaga perkawinan merupakan faktor dominan
dalam membentuk keteraturan umat manusia sebagai mahluk sosial, dari pasangan
suami istri yang serasi dan taat akan mendatangkan kebahagian dan keturunan
yang baik, sehingga akan terbentuklah keluarga yang baik dan dari keluarga yang
baik tersebut diharapkan akan terbentuklah masyarakat yang baik pula.
Sebelum
para pihak melangsungkan perkawinan, maka ada syarat dan rukun yang harus
dipenuhi oleh kedua pihak. Adapun yang menjadi rukun nikah menurut Imam Malik
adalah sebagai berikut :
1.
Wali dari pengantin perempuan
2.
Calon pengantin laki-laki
3.
Calon pengantin perempuan.
4.
Sadaq (mas kawin).
Sedangkan rukun nikah
menurut Imam Syafi’i adalah :
1. Calom suami.
2. Calon istri.
3. Wali nikah dari pengantin perempuan.
4. Dua orang saksi.
Dari sini dapat dimengerti bahwa menurut dua ulama’ besar
tersebut, saksi dipandang beda baik kedudukan maupun fungsinya. Saksi adalah
orang yang diminta pada suatu peristiwa untuk melihat dan menyaksikan atau
mengetahui agar suatu ketika bila diperlukan ia dapat memberikan keterangan
yang membenarkan bahwa peristiwa itu sungguh-sungguh terjadi.
Sehingga
dalam hal ini seorang saksi harus memenuhi persyaratan yang telah ditentukan
dalam syara’ dan apabila persyaratan itu tidak terpenuhi, maka kesaksiannya
tidak sah. Adapun syarat-syarat saksi adalah :
1. Dua orang saksi.
2. Berakal.
3. Adil.
4. Dapat berbicara.
5. Islam.
6.
Dapat mendengar.
7.
Tidak mempunyai hubungan kerabat antara kedua belah
pihak.
Dalam
hal ini para ulama berbeda pendapat tentang saksi, apakah saksi itu merupakan
suatu syarat saja ataukah sebagai rukun dalam perkawinan. Berarti mengandung
maksud bahwa nikah itu tidak dapat berakadkan tanpa adanya saksi walaupun
pemberitahuan tentang adanya nikah itu dapat dicapai dengan cara yang lain akan
tetapi Imam Syafi’i menyatakan bahwa saksi itu sebagai rukun sehingga setiap
perkawinan harus disaksikan oleh kedua orang saksi.
Hal ini sesuai dengan penjelasan dalam kitab “Al-Umm”
sebagaimana berikut :
أخبرنا مسلم بن خا
لد وسعيد عن ابن جريج عن عبدالله بن عثما ن بن خيثم عن سعيد بن جبير ومجا هد عن
ابن عباس قا ل : لا نكاح إلا بشا هدى عدل وولى مرشد.
Artinya :
“Dikabarkan oleh Muslim bin Khalid dan Sa’id dari Ibnu Juraij, dari Abdullah
bin Ustman bin Khaitsam, dari Said bin Jubair dan Mujahid, dari Ibnu Abbas ia
mengatakan : Tiada perkawinan, selain dengan dua orang saksi yang adil dan wali
yang memimpin”.
Dalam masalah ini Imam Malik berpendapat bahwa saksi
nikah tidak menjadi rukun nikah akan tetapi saksi hanya sebagai syarat nikah.
Sebagaimana penjelasan sebagai berikut :
ولما لك فى
الموطّأ عن الزّبير المكّىّ أنّ عمربن الخطّاب أتى بنكاح لم يشهد عليه ألاّ رجل
وأمرأة فقال : هذا نكاح السّرّ ولا أجيزه ولو كنت تقدّمت فيه لرجمت.
Artinya
: “Dan bagi Imam Malik dalam
al-Muwaththa’ dari Abi Zubair al-Makki, bahwa sesungguhnya pernah diajukan
kepada Umar bin Khaththab suatu pernikahan yang tidak disaksikan melainkan oleh
seorang laki-laki dan seorang perempuan, maka jawab Umar: Ini nikah sirri, aku
tidak memperkenankannya dan kalau engkau tetap melakukannya tentu kurajam”.
Sedangkan
Imam Syafi’i menyatakan bahwa dua orang saksi harus hadir dan menyaksikan
secara langsung akad nikah. Karena dalam suatu perkawinan peristiwa yang sangat
penting adalah pada saat akad nikah dilangsungkan, sehingga dua orang saksi
harus hadir pada terjadinya akad nikah.
Namun
Imam Malik berbeda pendapat bahwa saksi tidak harus hadir dalam akad nikah
dilaksanakan, kalaupun hadir hanyalah sunnah saja. Saksi itu harus hadir pada
saat mereka bersetubuh atau melakukan hubungan seksual.
Menurut ulama Madinah boleh saksi seorang kemudian sesudah itu seorang saksi
lagi apabila diumumkan sebelumnya (datangnya saksi tidak bersamaan).
Dari
uraian di atas terdapat perbedaan yang sangat mendasar. Maka dari itu
penulis ingin membahasnya dalam bentuk skripsi dengan judul : “Studi
Komparasi Pendapat Imam Syafi’i dan Imam Malik tentang Kedudukan dan Kehadiran
Saksi dalam Perkawinan”
B. Rumusan
Masalah
Bertolak
dari latar belakang di atas, sehingga timbul pertanyaan atau problem ataupun
permasalahan dalam kajian ini adalah :
1. Mengapa
Imam Syafi’i dan Imam Malik berbeda pendapat tentang kedudukan dan kehadiran
saksi dalam pernikahan ?
2. ِِApakah pendapat Imam Syafi’i dan Imam Malik tentang
kedudukan dan kehadiran saksi dalam pernikahan itu masih relevan ?
3. Apa
yang menjadi dasar hukum pendapat Imam Syafi’i dan Imam Malik berbeda pendapat
tentang kedudukan dan kehadiran saksi dalam pernikahan ?
C.
Tujuan Penelitian
Adapun
tujuan yang ingin dicapai dalam skripsi ini adalah :
1. Untuk
mengetahui lebih jauh bagaimana argumentasi Imam Syafi’i dan Imam Malik dalam
masalah kedudukan dan kehadiran saksi dalam pernikahan.
2. Untuk
mengetahui apakah pendapat Imam Syafi’i dan Imam Malik tentang kedudukan dan
kehadiran saksi dalam pernikahan itu masih relevan.
3. Untuk
mengetahui dasar hukum yang digunakan Imam Syafi’i dan Imam Malik berbeda
pendapat tentang kedudukan dan kehadiran saksi dalam pernikahan.
D. Penegasan
Istilah
Studi
:
Studi, berarti kajian, telaah, penelitian dan penyelidikan ilmiah
terhadap sesuatu.
Komparasi
:
Berkenaan atau berdasarkan perbandingan.
Imam
Syafi’i
:
Seorang imam mazdhab fiqih yang diikuti oleh sebagian besar umat
muslim di Indonesia, disebut Syafi’i karena dibangsakan dengan nama datuknya
yang ke-tiga yaitu Syafi’i bin Salib.
Imam
Malik
:
Ahli hadits, ahli fiqih, mujtahid besar dan pendiri mazdhab Maliki
yang terkenal dengan sebutan Imam Dar Al-Hijrah (tokoh panutan penduduk
Madinah).
Kedudukan
:
Keadaan
yang sebenarnya.
Saksi
:
Orang yang melihat atau mengetahui sendiri
peristiwa yang diminta hadir pada peristiwa untuk mengetahuinya agar suatu
ketika apabila diperlukan dapat memberikan keterangan yang membenarkan bahwa
peristiwa itu sungguh terjadi.
Perkawinan
:
Pernikahan,
yaitu akad yang sangat kuat atau
miitsaaqon gholidhan untuk mentaati
perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.
Jadi yang
dimaksud dari judul skripsi “Studi Komparasi Pendapat Imam Syafi’i dan Imam
Malik tentang Kedudukan dan Kehadiran Saksi dalam Perkawinan” adalah kajian
ilmiah terhadap pendapat Imam Syafi’i dan Imam Malik tentang keadaan atau
status saksi yang sebenarnya dan kehadiran saksi dalam perkawinan.
E. Metode
Penelitian
Metode mempunyai peranan yang sangat penting dalam mencapai
suatu tujuan, dengan memakai teknik serta alat-alat tertentu untuk mendapatkan
kebenaran yang obyektif dan terarah dengan baik.
Adapun metode yang penulis gunakan dalam penulisan skripsi
ini, adalah :
1.
Pendekatan Penelitian
Kerja penelitian
dalam skripsi ini menggunakan pendekatan rasionalistik. Menurut Noeng Muhajir,
pendekatan rasionalistik adalah pendekatan yang menekankan pemaknaan empirik,
pemahaman intelektual dan kemampuan berargumentasi secara logik.
Dan penulis juga
menggunakan metode pendekatan ushul fiqh dengan menggunakan teori
tarjih,
di sini teori
tarjih diartikan apabila terdapat dua nash yang secara
dhohir bertentangan maka harus diupayakan pembahasan atau
ijtihad
sebagai upaya mengkopromikan sesuai dengan metode yang berlaku.
Dan apabila tidak mungkin untuk mengkompromikan maka dengan jalan
mentarjih
salah satu dan apabila tidak mungkin maka dengan jalan mengetahui histori nash
tersebut.
2.
Jenis Penelitian
Jenis penelitian
skripsi ini adalah
library research yaitu penelitian yang berhubungan
dengan dunia pustaka.
3. Teknik
Pengumpulan Data
Berangkat
dari jenis penelitian yang dilakukan adalah penelitian kepustakaan, maka data
diambil dari dunia pustaka, seperti kamus, literatur, majalah, serta buku-buku
yang terkait dengan pembahasan dalam penelitian skripsi ini. Untuk memperoleh
data-data yang diperlukan dalam skripsi ini, sumber pengumpulan data yang
digunakan adalah sebagai berikut :
a. Sumber
data primer
Yaitu sumber langsung yang berkaitan
obyek riset, sumber ini merupakan diskripsi atau penjelasan langsung tentang
pernyataan yang dibuat oleh individu dengan menggunakan teori yang pertama
kali.
Sumber data primer dapat berkaitan
langsung dengan nash-nash Al-Qur'an dan hadis-hadis Rosulullah dan pendapat
Imam Syafi’i dan Imam Malik.
b. Sumber
data sekunder
Yaitu bahan pustaka yang diperoleh dan
dipublikasikan oleh penulis yang tidak secara langsung melakukan pengamatan
atau berpartisipasi dalam kenyataan yang didiskripsikan atau bukan penemu
teori.
Adapun buku-buku sumber penelitian dan
karangan ilmiah lain yang isinya sesuai dengan permasalahan dalam judul skripsi
Studi Komparasi Pendapat Imam Syafi’i dan Imam Malik tentang Kedudukan dan
Kehadiran Saksi dalam Perkawinan, yang dapat dijadikan sebagai pelengkap dalam
penyusunannya.
4. Teknik
Pengolahan Data
Setelah diperoleh data-data yang diperlukan
dalam skripsi ini, maka pengolahan data yang digunakan adalah sebagai berikut :
a.
Metode Deduktif
Deduktif
adalah metode yang pembahasannya dimulai dari kaidah-kaidah yang bersifat umum
agar diperoleh kesimpulan yang bersifat khusus.
Metode
deduktif ini penulis anggap lebih tepat dan mempermudah pengambilan kesimpulan
yang lebih spesifik dari suatu pembahasan yang bersifat umum yaitu membahas
tentang landasan teori yang berisi tentang dalil-dalil syar’i yang disepakati
dan diperselisihkan para ulama, khususnya Imam Syafi’i dan Imam Malik.
b.
Metode Induktif
Induktif
adalah suatu metode yang berangkat dari faktor yang bersifat khusus atau
peristiwa kongkrit, kemudian dari faktor-faktor itu ditarik kesimpulan yang
bersifat umum.
Dalam
penyajian data, penulis berangkat dari faktor-faktor yang bersifat umum, yaitu
membahas tentang biografi, istimbath hukum, dan kedudukan saksi menurut Imam
Syafi’i dan Imam Malik.
c.
Metode Komparatif
Metode
komparatif adalah metode yang digunakan untuk memperoleh kesimpulan dengan
menilai faktor-faktor tertentu yang berhubungan dengan situasi yang diselidiki
dan membandingkan dengan faktor-faktor lain.
Komparatif
merupakan metode terpenting dalam penulisan skripsi ini, karena penulis merasa
perlu untuk mengkomparasikan aspek dalil yang digunakan Imam Syafi’i dan Imam
Malik tentang kedudukan dan kehadiran saksi dalam perkawinan.
F. Sistematika Penulisan
Untuk mempermudah adanya alur pembahasan ini, maka penulis
membuat sistematika penulisan skripsi sebagai berikut :
1.
Bagian Muka, terdiri dari :
Halaman
judul, halaman nota pembimbing, halaman pengesahan, halaman motto, halaman
persembahan, halaman kata pengantar dan halaman daftar isi.
2. Bagian Isi, terdiri dari beberapa bab :
Bab I : Bab pendahuluan yang meliputi; latar belakang
masalah, rumusan masalah, tujuan penulisan skripsi, penegasan istilah, metode
penelitian, sistematika penulisan skripsi.
Bab II : Membahas tentang landasan teori. Dalam bab ini
penulis menguraikan tentang dalil-dalil syar’i yang meliputi; definisi
dalil-dalil syar’i, dalil-dalil syar’i yang disepakati oleh kedua ulama dan
dalil-dalil syar’i yang diperselisihkan kedua ulama tersebut.
Bab III :
Pada bab ini berisi tentang kedudukan
saksi dalam perkawinan menurut Imam Syafi’i dan Imam Malik, yang meliputi;
biografi Imam Syafi’i dan Imam Malik, istimbat hukum Imam Syafi’i dan Imam
Malik, kedudukan saksi dan masa hadirnya dalam perkawinan menurut Imam Syafi’i
dan Imam Malik.
Bab IV : Analisis data. Pada bab ini penulis membahas
tentang komparasi pemikiran Imam Syafi’i dan Imam Malik tentang kedudukan saksi
dan masa hadirnya dalam perkawinan, yang meliputi; aspek dalil yang digunakan
oleh Imam Syafi’i dan Imam Malik kaitannya dengan kedudukan saksi dalam
perkawinan, aspek maslahat yang hendak dicapai di Indonesia.
Bab V :
Penutup. Pada bab ini penulis memberikan
kesimpulan atas analisis data, kemudian dilanjutkan dengan memberikan saran-saran
dan kata penutup.
3. Bagian Akhir, terdiri dari :
Daftar pustaka, daftar riwayat hidup dan lampiran-lampiran.