Selasa, 14 Mei 2013

Menanamkan Kecerdasan Emosional pada Anak Melalui Kisah-kisah Alquran



BAB  I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Selama ini banyak orang menganggap jika seseorang memiliki tingkat kecerdasan intelektual (IQ) yang tinggi, maka orang tersebut memiliki peluang untuk meraih kesuksesan yang lebih besar  dibanding dengan orang lain. Pada kenyataannya, ada banyak kasus di mana seseorang yang  memiliki tingkat kecerdasan intelektual yang tinggi tersisih dari orang lain yang tingkat intelektualnya lebih rendah. Ternyata kecerdasan intelektual (IQ) yang tinggi tidak menjamin seseorang akan meraih kesuksesan.
Daniel Goleman, seorang profesor dari Harvard University yang telah berjasa mempopulerkan kecerdasan emosional pada akhir tahun 1995, menjelaskan bahwa ada patokan lain yang menentukan tingkat kesuksesan seseorang selain IQ (Intelligence Quotient). Ia berpendapat bahwa keberhasilan kita tidak hanya ditentukan oleh IQ semata tetapi juga kecerdasan emosional.1) Selanjutnya ia juga telah membuktikan bahwa tingkat emosional manusia ternyata lebih mampu memperlihatkan kesuksesan seseorang.
Mengadaptasi dari definisi Peter Salovey, Daniel Goleman membagi kecakapan Kecerdasan emosional dalam lima ranah  utama yaitu ; mengenali emosi diri, mengelola emosi, memotivasi diri sendiri, mengenali emosi orang lain dan membina hubungan.2)
Kecerdasan emosional dengan beberapa kecakapan utamanya ini,tidaklah mudah diperoleh karena ia tidak hadir dan dimiliki secara tiba-tiba atau langsung jadi. Sebaliknya, kemampuan tersebut harus dipelajari sejak dini. Kecerdasan emosional tumbuh dan berkembang  seiring dengan pertumbuhan seseorang sejak lahir hingga meninggal dunia. Pertumbuhan kecerdasan  emosional dipengaruhi oleh lingkungan, keluarga dan contoh-contoh yang didapat sejak lahir dari orang tuanya.3) Untuk itu, pemerolehan  pendidikan emosi yang teratur dan terancang sangat penting bagi anak dalam membentuk kecakapan-kecakapan emosional yang kokoh dan mudah diterapkan ketika menghadapi situasi yang sesungguhnya dalam kehidupannya.
Terdapat berbagai cara untuk menanamkan dan membentuk kecakapan-kecakapan emosional pada anak. Salah satunya adalah dengan menggunakan cerita-cerita atau kisah keteladanan. Shapiro berpendapat bahwa kisah-kisah keteladanan bisa menjadi cara yang paling baik untuk mengajarkan keterampilan emosional , entah dibacakan dari buku yang sudah ada atau di karang sendiri.4)
Selama berpuluh tahun para psikolog telah mengemukakan pengaruh positif dari membacakan cerita dan bercerita kepada anak-anak. Hal ini merupakan cara yang baik sekali untuk mengajari anak berpikir realistis, karena cerita dapat menunjukkan bagaimana orang secara realistis memecahkan masalah-masalahnya. Banyak orang tidak menyadari betapa besar pengaruh cerita terhadap perilaku kita, bahkan sampai membentuk budaya kita.5)
Al-Hasyimi berpendapat bahwa kesan sebuah cerita dalam jiwa anak-anak tidak terbatas hanya di sela-sela mengisahkannya, mendengarkannya atau membacanya. Namun secara mayoritas mereka akan meniru ucapan-ucapan, kejadian-kejadian, moral dan perilaku yang mengalir dari sebuah cerita dalam praktek nyata kehidupan mereka sehari-hari.6)
Kemudian pengaruh cerita ini mengiringi individu manusia di seluruh fase perkembangan psikologi , pendidikan dan sosiologi. Oleh sebab ini, maka para siswa TK, SD, SMP,SMU, universitas bahkan setiap orang, apakah ia awam (tidak terpelajar) ataukah terpelajar, akan hanyut pada pengaruh cerita. Sekalipun tema dan karakter cerita berbeda dengan perkembangan bentuk dan berbeda tingkat inteligensi, sosiologi dan temperamen/watak, seperti halnya tema dan karakter cerita tersebut berbeda menururt aspek kesenangan maupun kepedulian (concern).7)
Dalam hal ini, Patricia H. Berne menegaskan  bahwa ceritera memungkinkan anak-anak mengenali suatu situasi kegagalan dan mengalaminya  tanpa harus  menghadapi kecemasan secara langsung. Ini juga memungkinkan mereka memperoleh perspektif yang lebih realitis.8)
Cerita atau kisah yang disampaikan dengan baik, akan lebih menarik minat anak-anak untuk mendengarkan dan memperhatikannya. Ketika seorang guru bercerita tentang kebenaran-kebenaran semata, maka terkadang ia mendapati para siswanya mengalami kelesuan. Dan jika ia mengisahkan sebuah cerita sambil mengarahkan  pandangannya ke tempat duduk para siswanya secara bergantian, ia merasakan kilauan cahaya mata yang bersinar, pendengaran telinga yang tajam dan ketengan mereka.9)
Cerita khususnya efektif untuk mempengaruhi cara berpikir dan berperilaku anak. Hal ini tidak saja karena mereka senang mendengarkan atau dibacakan secara berulang-ulang,10) tetapi juga disebabkan oleh hakikat cerita itu sendiri yang mempunyai hubungan erat dengan permasalahan emosi lewat karakter yang ditampilkan oleh para tokoh dalam cerita tersebut.
Di samping itu, kesesuaian  cerita-cerita yang mengandung nilai-nilai keteladanan dapat dijadikan dasar untuk mengajar mereka tentang kecakapan-kecakapan emosional. Melalui cerita-cerita yang dikisahkan tersebut, kecakapan-kecakapan yang berkaitan dengan kecerdasan emosional dapat ditanamkan kepada anak-anak secara teliti dan terancang.
Salah satu sumber cerita yang baik untuk mengajarkan kecerdasan emosional pada anak adalah Alquran. Alquran telah menunjukkan daya tarik yang luar biasa dalam segala seginya termasuk kisah-kisah yang ada di dalamnya. Kisah-kisah Alquran dikatakan menarik karena di dalamnya terdapat ayat-ayat mengenai kisah umat manusia, yang bukan hanya menarik bagi orang dewasa, melainkan juga  bagi anak-anak.
Apabila Alquran diteliti dari sudut ini, akan ditemukan bahwa tersebarnya kisah dalam ayat dan surat yang berbeda, tetap menunjukkan kesatuan hubungan dan ‘keajegan’-nya dengan tahap-tahap perkembangan kepribadian manusia, sejak ia diciptakan, dilahirkan, hidup, dan mati. Adanya hubungan tersebut bukan saja ditandai oleh tematisnya, melainkan juga oleh keseluruhan gaya dan cara Alquran dalam berkisah. Dalam hal ini, kisah merupakan metode utama yang digunakan Alquran dalam menyampaikan pesan-pesannya.11)
Selanjutnya, juga akan ditemukan dalam kisah itu, sekaligus melalui kisahnya, Alquran bertujuan mendidik manusia sejak masa penciptaan, kelahiran, kanak-kanak, remaja, dewasa, dan tua hingga ajalnya, agar mereka senantiasa sadar akan jati dirinya. Pada dimensi lain, Alquran pun terus menerus menyeru manusia agar berpikir dan merenung untuk mendapatkan gambaran yang nyata tentang kehidupan.12) 
Bagaimana pentingnya kisah dalam Alquran dapat dilihat dari segi volume, di mana kisah-kisah tersebut memakan tempat yang tidak sedikit dari seluruh ayat-ayat Alquran. Bahkan ada surat-surat Alquran yang dikhususkan untuk kisah semata-mata, seperti surat Yusuf, Al-Anbiya’, Al-Qashas, dan Nuh. Dari keseluruhan surat Alquran, terdapat 35 surat memuat kisah, kebanyakan adalah surat-surat panjang.13)
Berdasarkan penelitian Hanafi, cerita tentang para nabi mendapatkan porsi yang cukup besar dalam Alquran yaitu dari jumlah keseluruhan ayat dalam Alquran yang terdiri dari 6300 ayat lebih, sekitar 1600 ayat di antaranya  membicarakan para rasul. Jumlah tersebut cukup besar jika dibandingkan dengan dengan ayat-ayat tentang hukum yang hanya terdiri dari 330 ayat.14) Selain ceritera tentang para rasul, Alquran juga menceritakan orang-orang selain nabi baik orang mukmin maupun orang kafir.
Allah telah  menceritakan kepada manusia kisah-kisah orang-orang terdahulu dan menyifati kisah-kisah ini sebagai kisah yang tidak diragukan lagi kebenarannya. Allah juga menyifati kisah-kisah ini sebagai kisah yang terbaik (ahsanul Qashash), sebagaimana firman Allah dalam Surat Yusuf ayat 3:





Artinya ; "Kami menceritakan kepadamu kisah yang paling baik dengan mewahyukan Alquran ini kepadamu, dan sesungguhnya kamu sebelum (Kami mewahyukannya) adalah orang-orang yang belum mengetahui"15)

Allah telah menetapkan bahwa dalam kisah orang-orang dahulu terdapat hikmah dan pelajaran bagi orang-orang yang berakal, yang mampu merenungi kisah-kisah itu, menemukan padanya  hikmah dan nasihat, serta menggali dari kisah-kisah itu pelajaran dan petunjuk hidup. Allah juga telah memerintahkan kepada kita agar meneladani orang-orang baik (shalihin) dan penganjur kebaikan (muslihin ) dari orang-orang  terdahulu, yang kisah-kisah mereka telah dipaparkan-Nya  kepada kita serta telah diperlihatkan-Nya kepada kita metode mereka dalam dakwah, perbaikan (ishlah), perlawanan terhadap musuh musuh Allah, perjuangan jihad, kesabaran dan keteguhan.16)
Dengan melihat kedekatan cerita-cerita dengan dunia anak-anak, maka kita harus selektif dalam memilih cerita-cerita yang akan diceritakan kepada mereka . Tidak diragukan lagi bahwa kisah-kisah dalam Alquranlah yang sangat perlu untuk diceritakan kepada anak anak dalam rangka menanamkan kecerdasan emosi kepada mereka. Dengan menceritakan kisah-kisah keteladanan dalam Alquran baik dari kisah para nabi atau selain nabi, anak-anak tidak saja dikenalkan berbagai cerita dalam kitab suci-Nya, mendekatkan manusia dengan sumber utama dalam agamanya sejak dini dan lebih jauh untuk mendorong  semangat mereka untuk mengkaji lebih mendalam ajaran-ajaran dalam Alquran. Juga diharapkan manusia dapat mengambil hikmah dan teladan dari sifat, perilaku dan kondisi emosional para tokoh tersebut ketika  mereka dihadapkan pada situasi atau peristiwa tertentu.
Pengamatan sementara peneliti mendapatkan bahwa masyarakat kita masih asing dengan masalah kecerdasan emosional dan mereka cenderung mengabaikan potensi kisah-kisah Alquran sebagai alat untuk menanamkan kecerdasan emosional kepada anak. Untuk itulah maka peneliti berusaha menjabarkan betapa pentingnya kisah-kisah Alquran sebagai alat untuk menanamkan kecerdasan emosional pada anak  melalui penulisan skripsi ini, dengan judul “ Menanamkan Kecerdasan Emosional pada Anak Melalui Kisah-kisah Alquran”.



 1) Daniel Goleman, Kecerdasan Emosional,  (alih bahasa; T.Hermaya),  PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta,  2000, hlm. 38.
             2) Ibid, hlm.59.
  3) Staff IQEQ, Kecerdasan Emosional, http://www.iqeq.web.id/art/art01.shtml,     (Diakses pada 25 April 2001, Pukul 15.00 WIB).
                4) Lawrence E. Shapiro,  Mengajarkan Emotional Intelligence pada Anak, (alih bahasa; Alex Tri Kantjono), PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1997,  hlm. 98.
    6) Dr. Abdul Hamid Al-Hasyimi, Mendidik Ala Rasulullah, (alih bahasa; Ibn Ibrahim), Pustaka Azzam, Jakarta, 2001, hlm.260.

              8) Patricia H. Berne dan Louis M. Sarvary, Membangun Harga Diri Anak, (alih bahasa; YB. Tugiyarso) , Kanisius, Jakarta, 1998, hlm. 216.
              9) Dr. Abdul Hamid Al-Hasyimi, Op.Cit.
              10) Lawrence E. Shapiro,  Op.Cit.

 11) Nunu Achdiat, S.Pd., Seni Berkisah: Memandu Anak Memahami Al-Qur’an, PT. Remaja Rosdakarya, Bandung, 1998, hlm.78.
 12) Ibid., hlm. 79.
 13) A. Hanafi, M.A., Segi-segi Kesusastraan Pada Kisah-Kisah Al-Qur’an, Pustaka Alhusna, Jakarta, 1984, hlm. 22.
             15) Depag RI, Al-Qur'an dan Terjemahnya, PT. Kumudasmoro Grafindo, Semarang, 1994, hlm. 348.
16) Dr. Shalah Al-Khalidy, Kisah-kisah Al qur’an Pelajaran dari Orang-orang Dahulu, jilid 1, (alih bahasa; Setiawan Budi Utomo), Gema Insani Press, Jakarta, 1999, hlm. 16.