Selasa, 14 Mei 2013

Studi Komparasi Pendapat Imam Syafi’i dan Imam Malik tentang Kedudukan dan Kehadiran Saksi dalam Perkawinan

A.    Latar Belakang

Agama Islam adalah agama yang terakhir dan merupakan agama penyempurna bagi agama-agama lain yang diturunkan oleh Allah Swt, baik dari segi ajaran-ajarannya maupun hukumnya, tujuan diciptakan manusia adalah untuk beribadah dan hal ini sesuai dengan firman Allah Surat Adz-Dzariyat ayat 56 :
وما خلقت الجنّ والإنس الاّ ليعبدون. (الذريات : 56)
Artinya : “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku”.[1]

Adapun yang dimaksud menyembah di sini tidak hanya diartikan melaksanakan ibadah shalat saja, akan tetapi bisa mempunyai arti yang sangat luas, yakni melaksanakan perintah-perintah Allah dan Rasul-Nya serta menjauhi segala larangan-larangan-Nya. Begitu juga di dalam ajaran Islam, adanya suatu anjuran untuk mengembangbiakkan keturunan yang pelaksanaannya harus sesuai dengan tatacara yang telah ditetapkan dalam syari’at Islam baik dalam Al-Qur’an maupun hadits ataupun sumber-sumber hukum yang lain. Tatacara yang dimaksud adalah melalui perkawinan yang sah, baik sah secara agama ataupun sah menurut pemerintah sehingga tidak akan terjadi ketimpangan di masa  datang setelah terjadi perkawinan.
Bahwa hakikat dari suatu perkawinan tidak lain adalah institusi yang ditetapkan oleh syara’ guna menyatukan tabiat manusia yang memiliki syahwat secara sah. Dengan hal ini adalah perbedaan antara seorang pria dengan seorang wanita sebelum adanya akad nikah yang berdasarkan syari’at Islam, merupakan suatu hal yang sangat diharamkan, sehingga akad nikah menjadikan halalnya persebadanan antara seorang pria dengan seorang wanita.
Sebagaimana firman Allah Swt Surat Al-Baqarah ayat 187 :
... هنّ لباس لكم وانتم لباس لهنّ ... الاية (البقراة : 187).
Artinya : “Mereka adalah pakaian bagimu dan kamu adalah pakaian bagi mereka” (Q.S. Al-Baqarah : 187).[2]

Firman Allah Surat Ar-Rum ayat 21 :
ومن ايته ان خلق لكم من انفسكم ازواجا لتسكنوا اليها وجعل بينكم مودّة ورحمة إنّ فى ذلك لا يت لقوم يتفكّرون (الروم : 21).

Artinya : “Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya adalah Dia menciptakan istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tentram padanya, dan dijadikannya diantara kamu rasa kasih sayang. Sesungguhnya pada yang demikian terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir”. (Ar-Rum : 21).[3]

Dalam sejarah peradaban manusia adanya lembaga perkawinan merupakan faktor dominan dalam membentuk keteraturan umat manusia sebagai mahluk sosial, dari pasangan suami istri yang serasi dan taat akan mendatangkan kebahagian dan keturunan yang baik, sehingga akan terbentuklah keluarga yang baik dan dari keluarga yang baik tersebut diharapkan akan terbentuklah masyarakat yang baik pula.
Sebelum para pihak melangsungkan perkawinan, maka ada syarat dan rukun yang harus dipenuhi oleh kedua pihak. Adapun yang menjadi rukun nikah menurut Imam Malik adalah sebagai berikut :
1.      Wali dari pengantin perempuan
2.      Calon pengantin laki-laki
3.      Calon pengantin perempuan.
4.      Sadaq (mas kawin).
5.      Sighat ijab qabul.[4]
Sedangkan rukun nikah menurut Imam Syafi’i adalah :
1.   Calom suami.
2.   Calon istri.
3.   Wali nikah dari pengantin perempuan.
4.   Dua orang saksi.
5.   Sighat ijab qabul.[5]
Dari sini dapat dimengerti bahwa menurut dua ulama’ besar tersebut, saksi dipandang beda baik kedudukan maupun fungsinya. Saksi adalah orang yang diminta pada suatu peristiwa untuk melihat dan menyaksikan atau mengetahui agar suatu ketika bila diperlukan ia dapat memberikan keterangan yang membenarkan bahwa peristiwa itu sungguh-sungguh terjadi.[6]
Sehingga dalam hal ini seorang saksi harus memenuhi persyaratan yang telah ditentukan dalam syara’ dan apabila persyaratan itu tidak terpenuhi, maka kesaksiannya tidak sah. Adapun syarat-syarat saksi adalah :
1.   Dua orang saksi.
2.   Berakal.
3.   Adil.
4.   Dapat berbicara.
5.   Islam.
6.      Dapat mendengar.
7.      Tidak mempunyai hubungan kerabat antara kedua belah pihak.[7]
Dalam hal ini para ulama berbeda pendapat tentang saksi, apakah saksi itu merupakan suatu syarat saja ataukah sebagai rukun dalam perkawinan. Berarti mengandung maksud bahwa nikah itu tidak dapat berakadkan tanpa adanya saksi walaupun pemberitahuan tentang adanya nikah itu dapat dicapai dengan cara yang lain akan tetapi Imam Syafi’i menyatakan bahwa saksi itu sebagai rukun sehingga setiap perkawinan harus disaksikan oleh kedua orang saksi.
Hal ini sesuai dengan penjelasan dalam kitab “Al-Umm” sebagaimana berikut :
أخبرنا مسلم بن خا لد وسعيد عن ابن جريج عن عبدالله بن عثما ن بن خيثم عن سعيد بن جبير ومجا هد عن ابن عباس قا ل : لا نكاح إلا بشا هدى عدل وولى مرشد.[8]

Artinya : “Dikabarkan oleh Muslim bin Khalid dan Sa’id dari Ibnu Juraij, dari Abdullah bin Ustman bin Khaitsam, dari Said bin Jubair dan Mujahid, dari Ibnu Abbas ia mengatakan : Tiada perkawinan, selain dengan dua orang saksi yang adil dan wali yang memimpin”.

Dalam masalah ini Imam Malik berpendapat bahwa saksi nikah tidak menjadi rukun nikah akan tetapi saksi hanya sebagai syarat nikah.[9] Sebagaimana penjelasan sebagai berikut :
ولما لك فى الموطّأ عن الزّبير المكّىّ أنّ عمربن الخطّاب أتى بنكاح لم يشهد عليه ألاّ رجل وأمرأة فقال : هذا نكاح السّرّ ولا أجيزه ولو كنت تقدّمت فيه لرجمت. [10]
Artinya : “Dan bagi Imam Malik dalam al-Muwaththa’ dari Abi Zubair al-Makki, bahwa sesungguhnya pernah diajukan kepada Umar bin Khaththab suatu pernikahan yang tidak disaksikan melainkan oleh seorang laki-laki dan seorang perempuan, maka jawab Umar: Ini nikah sirri, aku tidak memperkenankannya dan kalau engkau tetap melakukannya tentu kurajam”.

Sedangkan Imam Syafi’i menyatakan bahwa dua orang saksi harus hadir dan menyaksikan secara langsung akad nikah. Karena dalam suatu perkawinan peristiwa yang sangat penting adalah pada saat akad nikah dilangsungkan, sehingga dua orang saksi harus hadir pada terjadinya akad nikah.[11]
Namun Imam Malik berbeda pendapat bahwa saksi tidak harus hadir dalam akad nikah dilaksanakan, kalaupun hadir hanyalah sunnah saja. Saksi itu harus hadir pada saat mereka bersetubuh atau melakukan hubungan seksual.[12] Menurut ulama Madinah boleh saksi seorang kemudian sesudah itu seorang saksi lagi apabila diumumkan sebelumnya (datangnya saksi tidak bersamaan).[13]
Dari uraian di atas terdapat perbedaan yang sangat mendasar. Maka dari itu penulis ingin membahasnya dalam bentuk skripsi dengan judul : “Studi Komparasi Pendapat Imam Syafi’i dan Imam Malik tentang Kedudukan dan Kehadiran Saksi dalam Perkawinan”

B.     Rumusan Masalah

Bertolak dari latar belakang di atas, sehingga timbul pertanyaan atau problem ataupun permasalahan dalam kajian ini adalah :
1.      Mengapa Imam Syafi’i dan Imam Malik berbeda pendapat tentang kedudukan dan kehadiran saksi dalam pernikahan ?
2.      ِِApakah pendapat Imam Syafi’i dan Imam Malik tentang kedudukan dan kehadiran saksi dalam pernikahan itu masih relevan ?
3.      Apa yang menjadi dasar hukum pendapat Imam Syafi’i dan Imam Malik berbeda pendapat tentang kedudukan dan kehadiran saksi dalam pernikahan ?

C.    Tujuan Penelitian

Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam skripsi ini adalah :
1.      Untuk mengetahui lebih jauh bagaimana argumentasi Imam Syafi’i dan Imam Malik dalam masalah kedudukan dan kehadiran saksi dalam pernikahan.
2.      Untuk mengetahui apakah pendapat Imam Syafi’i dan Imam Malik tentang kedudukan dan kehadiran saksi dalam pernikahan itu masih relevan.
3.      Untuk mengetahui dasar hukum yang digunakan Imam Syafi’i dan Imam Malik berbeda pendapat tentang kedudukan dan kehadiran saksi dalam pernikahan.

D.    Penegasan Istilah

Studi                  :    Studi, berarti kajian, telaah, penelitian dan penyelidikan ilmiah terhadap sesuatu.[14]
Komparasi          :    Berkenaan atau berdasarkan perbandingan.[15]
Imam Syafi’i      :    Seorang imam mazdhab fiqih yang diikuti oleh sebagian besar umat muslim di Indonesia, disebut Syafi’i karena dibangsakan dengan nama datuknya yang ke-tiga yaitu Syafi’i bin Salib.[16]
Imam Malik        :    Ahli hadits, ahli fiqih, mujtahid besar dan pendiri mazdhab Maliki yang terkenal dengan sebutan Imam Dar Al-Hijrah (tokoh panutan penduduk Madinah).[17]
Kedudukan        :    Keadaan yang sebenarnya.[18]
Saksi                   :    Orang yang melihat atau mengetahui sendiri peristiwa yang diminta hadir pada peristiwa untuk mengetahuinya agar suatu ketika apabila diperlukan dapat memberikan keterangan yang membenarkan bahwa peristiwa itu sungguh terjadi.[19]
Perkawinan        :    Pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau miitsaaqon gholidhan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.[20]
Jadi yang dimaksud dari judul skripsi “Studi Komparasi Pendapat Imam Syafi’i dan Imam Malik tentang Kedudukan dan Kehadiran Saksi dalam Perkawinan” adalah kajian ilmiah terhadap pendapat Imam Syafi’i dan Imam Malik tentang keadaan atau status saksi yang sebenarnya dan kehadiran saksi dalam perkawinan.

E.     Metode Penelitian

Metode mempunyai peranan yang sangat penting dalam mencapai suatu tujuan, dengan memakai teknik serta alat-alat tertentu untuk mendapatkan kebenaran yang obyektif dan terarah dengan baik.
Adapun metode yang penulis gunakan dalam penulisan skripsi ini, adalah :
1.      Pendekatan Penelitian
Kerja penelitian dalam skripsi ini menggunakan pendekatan rasionalistik. Menurut Noeng Muhajir, pendekatan rasionalistik adalah pendekatan yang menekankan pemaknaan empirik, pemahaman intelektual dan kemampuan berargumentasi secara logik.[21]
Dan penulis juga menggunakan metode pendekatan ushul fiqh dengan menggunakan teori tarjih, di sini teori tarjih diartikan apabila terdapat dua nash yang secara dhohir bertentangan maka harus diupayakan pembahasan atau ijtihad sebagai upaya mengkopromikan sesuai dengan metode yang berlaku.[22] Dan apabila tidak mungkin untuk mengkompromikan maka dengan jalan mentarjih salah satu dan apabila tidak mungkin maka dengan jalan mengetahui histori nash tersebut.[23]

2.      Jenis Penelitian
Jenis penelitian skripsi ini adalah library research yaitu penelitian yang berhubungan dengan dunia pustaka.[24]
3.  Teknik Pengumpulan Data
Berangkat dari jenis penelitian yang dilakukan adalah penelitian kepustakaan, maka data diambil dari dunia pustaka, seperti kamus, literatur, majalah, serta buku-buku yang terkait dengan pembahasan dalam penelitian skripsi ini. Untuk memperoleh data-data yang diperlukan dalam skripsi ini, sumber pengumpulan data yang digunakan adalah sebagai berikut :
a.    Sumber data primer
Yaitu sumber langsung yang berkaitan obyek riset, sumber ini merupakan diskripsi atau penjelasan langsung tentang pernyataan yang dibuat oleh individu dengan menggunakan teori yang pertama kali.[25]
Sumber data primer dapat berkaitan langsung dengan nash-nash Al-Qur'an dan hadis-hadis Rosulullah dan pendapat Imam Syafi’i dan Imam Malik.
b.    Sumber data sekunder
Yaitu bahan pustaka yang diperoleh dan dipublikasikan oleh penulis yang tidak secara langsung melakukan pengamatan atau berpartisipasi dalam kenyataan yang didiskripsikan atau bukan penemu teori.[26]
Adapun buku-buku sumber penelitian dan karangan ilmiah lain yang isinya sesuai dengan permasalahan dalam judul skripsi Studi Komparasi Pendapat Imam Syafi’i dan Imam Malik tentang Kedudukan dan Kehadiran Saksi dalam Perkawinan, yang dapat dijadikan sebagai pelengkap dalam penyusunannya.
4.    Teknik Pengolahan Data
Setelah diperoleh data-data yang diperlukan dalam skripsi ini, maka pengolahan data yang digunakan adalah sebagai berikut :

a.       Metode Deduktif
Deduktif adalah metode yang pembahasannya dimulai dari kaidah-kaidah yang bersifat umum agar diperoleh kesimpulan yang bersifat khusus.[27]
Metode deduktif ini penulis anggap lebih tepat dan mempermudah pengambilan kesimpulan yang lebih spesifik dari suatu pembahasan yang bersifat umum yaitu membahas tentang landasan teori yang berisi tentang dalil-dalil syar’i yang disepakati dan diperselisihkan para ulama, khususnya Imam Syafi’i dan Imam Malik.
b.      Metode Induktif
Induktif adalah suatu metode yang berangkat dari faktor yang bersifat khusus atau peristiwa kongkrit, kemudian dari faktor-faktor itu ditarik kesimpulan yang bersifat umum.[28]
Dalam penyajian data, penulis berangkat dari faktor-faktor yang bersifat umum, yaitu membahas tentang biografi, istimbath hukum, dan kedudukan saksi menurut Imam Syafi’i dan Imam Malik.

c.       Metode Komparatif
Metode komparatif adalah metode yang digunakan untuk memperoleh kesimpulan dengan menilai faktor-faktor tertentu yang berhubungan dengan situasi yang diselidiki dan membandingkan dengan faktor-faktor lain.[29]
Komparatif merupakan metode terpenting dalam penulisan skripsi ini, karena penulis merasa perlu untuk mengkomparasikan aspek dalil yang digunakan Imam Syafi’i dan Imam Malik tentang kedudukan dan kehadiran saksi dalam perkawinan.

F.   Sistematika Penulisan
Untuk mempermudah adanya alur pembahasan ini, maka penulis membuat sistematika penulisan skripsi sebagai berikut :
1.   Bagian Muka, terdiri dari :
Halaman judul, halaman nota pembimbing, halaman pengesahan, halaman motto, halaman persembahan, halaman kata pengantar dan halaman daftar isi.
2.   Bagian Isi, terdiri dari beberapa bab :
Bab I       : Bab pendahuluan yang meliputi; latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penulisan skripsi, penegasan istilah, metode penelitian, sistematika penulisan skripsi.
Bab II      : Membahas tentang landasan teori. Dalam bab ini penulis menguraikan tentang dalil-dalil syar’i yang meliputi; definisi dalil-dalil syar’i, dalil-dalil syar’i yang disepakati oleh kedua ulama dan dalil-dalil syar’i yang diperselisihkan kedua ulama tersebut.
Bab III    : Pada bab ini berisi tentang kedudukan saksi dalam perkawinan menurut Imam Syafi’i dan Imam Malik, yang meliputi; biografi Imam Syafi’i dan Imam Malik, istimbat hukum Imam Syafi’i dan Imam Malik, kedudukan saksi dan masa hadirnya dalam perkawinan menurut Imam Syafi’i dan Imam Malik.
Bab IV    :  Analisis data. Pada bab ini penulis membahas tentang komparasi pemikiran Imam Syafi’i dan Imam Malik tentang kedudukan saksi dan masa hadirnya dalam perkawinan, yang meliputi; aspek dalil yang digunakan oleh Imam Syafi’i dan Imam Malik kaitannya dengan kedudukan saksi dalam perkawinan, aspek maslahat yang hendak dicapai di Indonesia.
Bab V      : Penutup. Pada bab ini penulis memberikan kesimpulan atas analisis data, kemudian dilanjutkan dengan memberikan saran-saran dan kata penutup.       
3.   Bagian Akhir, terdiri dari :
Daftar pustaka, daftar riwayat hidup dan lampiran-lampiran.


[1]Al-Qur’an, Adz-Dzariyat Ayat 56, Yayasan Penyelenggara Penerjemah Penafsiran Al-Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Depag RI, 1992. hlm. 628.
[2]Al-Qur’an, Surat Al-Baqarah ayat 187, Yayasan Penyelenggara Penerjemah Penafsiran Al-Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Depag RI, 1992. hlm. 44.
[3]Al-Qur’an, Surat Ar-Rum ayat 21, Yayasan Penyelenggara Penerjemah Penafsiran Al-Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Depag RI, 1992. hlm. 644.
[4]Abdurrahman Al-Jaziri, Al-Fiqhu ‘Ala Mazahib Al-Arba’ah, Maktabah Al-Jariyah, Juz 4, Kubro, Mesir, 1929, hlm. 23.
[5]Ibid, hlm. 12.
[6]Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi Islam, PT. Ichtiar Baru, Van Hoeve, Jakarta, 1994, hlm. 202.
[7]Abdurrahman Al-Jaziri, Op.cit, hlm. 21.
[8]Al-Imam Abi Abdullah Muhammad bin Idris As-Syafi’i, Al-Umm, Juz 5, Dar al-Fikr, Beirut, t.th, hlm. 23.
[9]Ibnu Rusd, Bidayatul Mujtahid wa Nihaatul Muktasid, Juz 2, Dar al-Fikr, Beirut, hlm. 15.
[10]Imam Malik, Al-Muwatha’, Dar Al-Fikr, Beirut, 1989. 
[11]Al-Imam Abi Abdullah Muhammad bin Idris As-Syafi’i,  Al-Umm (Terj.), Juz 7, Cet. I, 1983, hlm. 117.
[12]Abdurrahman Al-Jaziri, Al-Fiqhu ‘Ala Mazahi bin Araba’ah, Juz 4, Dar el-Makmun, Syibra, 1969, hlm. 23.
[13]Terjemahahan Nailul Author Himpunan Hadits-Hadits Hukum (Diterj. Mu’ammal Hamidy dan Umar Fanany, PT. Bina Ilmu, Surabaya, 1993, hlm. 2173.
[14]Tim Punyusun Pusat Pembinaan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Balai Pustaka, Jakarta, 1994, hlm. 965.
[15]Ibid, hlm. 516.
[16]Munawar Kholil, Biografi Empat Serangkai Imam Mazdhab, Bulan Bintang, 1983, hlm. 152.
[17]Ibid, hlm. 184.
[18]Ibid, hlm. 214.
[19]Ibid, hlm. 770.
[20]Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Akademi Pressindo, Jakarta, 1992, hlm. 114.
[21]Noeng Muhajir, Metodologi Penelitian Kualitatif, Rake Sarasin, Yogyakarta, 1992, hlm. 83.
[22]Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushul Fiqh, Dar Al-Qalam, Kuwait, 1978, hlm. 229.
[23]Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh, Dar Al-Fikr Al-Araby, t.th, hlm. 309.
[24]Sutrisno Hadi, Metodologi Research, Jilid I, Andi Offset, Yogyakarta, 1987, hlm. 9.

25Ibnu Hajar, Dasar-dasar Metodologi Penelitian Kualitatif dalam Pendidikan, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1996, hlm. 83.
26Ibid., hlm. 84.
[27]Sutrisno Hadi, Op.cit, hlm. 36.
[28]Ibid, hlm. 42.
[29]Winarno Surakhmad, Dasar dan Teknik Research, Tarsito, Bandung, 1972, hlm. 135.